Atas nama PWM Kaltim mengucapkan selamat kepada seluruh wisudawan atas keberhasilan menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah. Semoga kesuksesan ini menjadi spirit dan motivasi untk kesuksesan pada bidang lainnya dalam masyarakat, dalam karir dan lain-lain. Teruslah menuntut ilmu, baik secara formal maupun non formal dan informal. Ilmu yang bermanfaat, yang mencerdaskan, yang mencerahkan, yang memajukan, yang menyejahterakan, yang mengangkat harkat dan martabat diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan.
Idealnya lulusan PerguruanTinggi Muhammaduyah menjadi kader persyarikatan, kader umat, kader bangsa dan kader kemanusiaan. Jadilah orang yang bermanfaat dan diperlukan dimana saja dan kapan saja. Menjadi rahmat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dan kemanusian. Jangan menjadi orang-orang yang bermasalah (problem maker), tetapi jadilah orang yang dapat memecahkan masalah-masalah di sekitar anda (problem solver).
Jadilah muslim yang baik dan benar. Tunjukkan bahwa anda adalah muslim yang baik dan benar. Tunjukkan keislaman anda secara maknawi dan substantif seperti dengan kejujuran dalam berkata dan berbuat, disiplin, tanggung jawab, amanah, kerja sama dalam kebaikan dan lain-lain.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan membawa surga. Kedustaan (kebohongan, kecurangan, keculasan) membawa keburukan dan keburukan membawa ke neraka” (HR.Bukhari dan Muslim).
Bantulah Muhammadiyah di mana saja dan kapan saja. Anda telah dilahirkan melalui rahim Muhammadiyah. Anda pernah berada dalam garba ilmiah Muhammadiyah. Tidak pantas memusuhi Muhammadiyah. Jika anda belum mampu membantu Muhammadiyah, minimal jangan pernah durhaka dan memusuhi Muhammadiyah, dan jangan berlaku aniaya kepada Muhammadiyah. Tidak elok rasanya alumni Perguruan Muhammadiyah berbuat kurang patut kepada Muhammadiyah, masyarakat, bangsa, negara dan mencederai kemanusian.
Selaku Ketua PW Muhammadiyah Kaltim, saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi Kaltim, kepada Kopertis Wilayah XI Kalimantan atas segala bantuan yang telah diberikan kepada Muhammadiyah. Ketahuilah bahwa bantuan kepada Muhammadiyah insya Allah akan kembali kepada masyarakat, dan untuk kepentingan anak bangsa dan tidak hanya untuk kepentingan Muhammadiyah itu sendiiri
KH Azhar Basyir: “Bagaimana Mewujudkan Kebangkitan”
Muhammadiyah Konsisten
Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912 kini telah berusia 83 tahun. Dalam perjalanan dan geraknya selama 83 tahun itu Muhammadiyah konsisten menekankan pada bidang dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, menyebarluaskan, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam yang merupakan curahan rahmat kasih sayang Allah kepada seru sekalian alam, terwujudknya masyarakat utama,adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT sebagai pemenuhan kewajiban beribadah kepada Allah dan pelaksanaan fungsi manusia sebagai kholifah-Nya di bumi.
Memperhatikan tahun berdirinya Muhammadiyah, yaitu pada tahun 1912, Muhammadiyah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perwujudan Kebangkitan Nasional, yang resminya ditandai dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908. Tujuan utama kebangkitan nasional ialah memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan mengangkat harkat dan martabat kehidupan bangsa Indonesia agar memenuhi kodrat kemanusiaan yang terhormat. Muhammadiyah berkeyakinan, dengan jalan Agama Islam, tujuan utama Kebangkitan Nasional itu akan lebih cepar tercapai dengan hasil yang benar-benar mantap, karena dorongan iman dan takwa, ajaran wahyu menjadi pedoman, akal di gunakan untuk mendalami dan mengembangkan pemahaman, tujuan tidak terbatas dalam kehidupan sejahtera di dunia tetapi juga di akhirat.
Muhammadiyah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perwujudan Kebangkitan Nasional benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap nasib bangsa Indonesia di bawah penjajahan bangsa Belanda. Melalui pembianan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, Muhammadiyah bekerja untuk meluruskan kehidupan beragama, iman tauhid ditanamkan, tahayuul khurofat dikikis, ibadah murni dikembalikan kepada tuntunan Sunnah Nabi, kebodohan ditanggulangi dengan mendirikan berbagai macam sekolah, pemisahan dikotomi antara ilmu dan agama dan ilmu umum di tinggalkan, anak-anak yati diasuh di panti asuham, kaum mustadh’afin menjadi perhatian, kesehatan masyarakat pun menjadi perhatian.
Bidang Pendidikan
Khusus gerakan amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan yang telah meliputi segala jenis dan jenjang, tidak seorang pun yang mengingkari berapa besar sumbangannya bagai pembangunan bangsa Indonesia. Pemerintah merasakan kemitraan nyata Muhammadiyah dalam bidang ini. Karenanya tanpa diminta pemerintah selalu mengulurkan bantuan yang mendidik kepada Muhammadiyah agar tetap terpelihata kemandiriannya. Atas kepercayaan yang makin besar kepada dunia Pendidikan Muhammadiyah, PP Muhammadiyah mengucapkan terima kasih.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingatkan adanya amanat Muktamar Muhammadiyah ke 42 agar Muhammadiyah meningkatkan kualitas pimpinan, anggota dan pengelolaan amal usaha Muhammadiyah, memenuhi pesan Rosulullah, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah dari pada orang Mukmin yang lemah”.
Kekuatan dalam arti tercapai, khususnya dalam dunia Perguruan Tinggi Muhammadiyah, jika dapat di capai stabilitas yang mantap, terhindar dari berbagai macam kericuhan atas dasar kesamaan niat beribadah kepada Allah, menyiapkan sumber daya manusia yang handal untuk memikul amanat Allah sebagai khalifahNya di bumi. Dengan dicapainya stabilitas yang mantap, waktu yang dapat digunakan untuk melakukan peningkatan mutu akademik, memenuhi tuntutan perkembangan dan kemajuan teknologi, lebih lebih dalam menyongsong era PJPT II.
Usaha meningkakan kualitas akademik akan makin terbantu jika di wujudkan kerja sama yang mantap antar Perguruan Tinggi Muhammadiyah, antara perguruan tinggi dengan persyarikatan, juga antara perguruan tinggi muhammadiyah dengan perguruan tinggi yang lain, baik negeri maupun swasta tetapi juga kerja sama dengan Pemerintah. Penanaman iman, takwa dan akhlak luhur di kalangan civitas akademika Perguruan Tinggi Muhammadiyah, baik penyelenggaraa, pimpinan, pengasuh akademik maupun penyelenggara administratif hendaknya selalu di tingkatkan.
Nabi menyatakan “Aku di utus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang luhur”. Pujangga Mesir, Akhmad Syauqi menyatakan: “Bangsa akan tetap tegak jika dapat mempertahankan akhlak yang luhur. Sebaliknya, bangsa akan hancur jika akhlak luhur di tinggalkan”. Kerja nyata merupakan tumpuan penilaian hidup. Allah berpesan: ”Bekerjalah, Allah dan Rosulnya serta orang-orang mukmin akan menayksikan apa yang kamu kerjakan. Kerja ikhlas menuju ridho Allah itulah yang menjadi kebahagian di hadirat Allah kelak”. Rosulllah pun berpesan “Sesungguhnya Allah menyukai, jika kami bekerja benar-benar cemar dan sungguh-sungguh dalam melakukannya”.
*Ditulis dari buku Ushwah Hasanah dalam Muhammadiyah yang ditulis oleh KH Azhar Basyir
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
(KH. Ahmad Dahlan, 1912).
Kalimat di atas merupakan amanah pendiri persyarikatan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan bagi semua warganya. Tentu saja, pesan tersebut bukan saja penting diingat tapi juga harus dilaksanakan oleh setiap warganya yang oleh Kyai Dahlan-tatkala masih hidup-disinyalir pasti esok banyak warga persyarikatan menghadapi ribuan tantangan dan hambatan. Bila hambatan dan tantangan tersebut dibiarkan dan tidak diantisipasi secara jitu maka rumah besar yang bernama Muhammadiyah akan menjumpai ajalnya alias mati akibat salah urus dan tidak sedikit yang ingin memperebutkan “harta warisan” yang bernama Muhammadiyah itu.
Meminjam bahasa Neil Postman, matinya institusi organisasi dalam hal ini adalah Muhammadiyah (the Death of Muhammadiyah) bukan hal mustahil akan terjadi manakala Muhammadiyah beserta warganya tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman seperti di era pos-kapitalis ini. Lebih-lebih lagi, bila tidak punya sense of belonging (rasa memiliki) terhadap organisasi karena lemahnya ideologi dan minimnya informasi serta wawasan tentang ke-Muhammadiyah-an. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung, ikut mendorong subjek pelaku persyarikatan untuk menggadaikan persyarikatan dengan cepat.
Dalam konteks semacam ini, teori Adam Smith dalam “Welfare State” yakni Negara Makmur, atau pada kasus Muhammadiyah maka kaya raya dan banyaknya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bukan menjamin akan menjadikan Muhammadiyah makin kokoh, kuat dan besar bila tidak diiringi penguatan azas, ideologi dan prinsip (strengthening of basic and ideology). Malahan bisa menjadi “warisan” yang diperebutkan oleh banyak pihak.
Kegelisahan para intelektual Muhammadiyah terdahulu ternyata telah menjadi bukti nyata saat ini, bahwa Muhammadiyah suatu saat nanti bila tidak antisipatif terhadap tantangan baik internal maupun eksternal maka Muhammadiyah akan habis-hancur. Lain pernyataan Buya Syafii Maarif pernah mengkritik pada suatu ketika bahwa saat ini memang Amal Usaha Muhammadiyah secara kuantitatif besar dan banyak sekali jumlahnya, baik yang berwujud sekolah, universitas, yayasan, panti asuhan maupun rumah sakit. Beliau gelisah, dengan melontarkan sebuah pernyataan dan pertanyaan menggelitik, sudahkah banyaknya jumlah Amal Usaha tersebut dibarengi dengan kualitas serta disokong ideologi dan prinsip yang kuat?
Bila jawabannya belum, sudah barang tentu menjadi persoalan besar yang perlu segera dipikirkan bersama. Pada kondisi ini, gelisah dan takut bukanlah jawaban tepat bagi aktivis dan pimpinan Muhammadiyah, sikap antisipatif disertai langkah strategis, evaluatif demi meraih sukses perjuangan adalah langkah bijak bagi setiap warga persyarikatan yang benar-benar memperjuangkan misi, visi dan tujuannya. Barangkali, prinsip presiden Susilo Bambang Yudhoyono tatkala menghadapi jutaan masalah negeri ini, dengan mengatakan “the state that never sleep,” perlu pula ditiru sebagai simbol perjuangan bagi stakeholder Muhammadiyah dengan berprinsip “the Muhammadiyah stakeholders that never sleep.” Persoalannya, siapkah penggerak Muhammadiyah dari berbagai level mulai bawah hingga atas melaksanakannya tidak sekadar janji laiknya politikus?
Selanjutnya, tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai rumusan taktis operasional yang siap dijadikan pedoman praktis dalam berorganisasi. Namun, tulisan ini ingin menawarkan beberapa langkah antisipatif yang disertai koreksi atau evaluasi atas apa yang menyebabkan Muhammadiyah belakangan ini seolah menjadi sasaran empuk atau harta warisan yang diperebutkan oleh banyak kalangan, khususnya munculnya gejala kader-kader non-Muhammadiyah (misalnya saja kader PKS, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir) yang masuk persyarikatan bukan untuk menghidup-hidupi Muhammadiyah melainkan untuk menghidupi pribadi, kelompok serta anggotanya masing-masing, tidak lebih dari itu. Jelas bisa dipastikan bahwa gesekan ideologis, kepentingan dan gerakan tidak bisa dihindari. Karenanya, tulisan ini sedikit banyak akan menyinggung persoalan tersebut. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai tawaran solusi jalan tengah bagi keberlangsungan hidup Muhammadiyah kemarin, kini dan mungkin esok.
Menghidupi PKS, Ikhwanul Muslimin atau Muhammadiyah?
Gesekan ideologis dan kepentingan nampaknya tidak bisa ditutupi telah menjadi wacana dan tantangan baru bagi berbagai organisasi Islam besar di Indonesia, baik Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri nampaknya telah lebih awal “ditaklukkan” dengan amat mudah oleh gerakan ideologis seperti gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Ikhwanul Muslimin sendiri merupakan gerakan fundamentalis, yakni gerakan yang mengusung syariah berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Organisasi yang didirikan oleh Hassan Al-Banna pada tahun 1928 ini, tidak hanya menyebar di Mesir tempat awal berdirinya, tapi hingga saat ini telah menyebar ke berbagai penjuru dunia hingga ke Indonesia melalui beragam media dan bidang kehidupan, termasuk partai politik.
Di Indonesia, secara politis Ikhwanul Muslimin nampaknya lebih berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS) daripada ke partai lainnya. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sendiri pun telah menjadi fenomena baru yang cukup menakjubkan banyak pihak. Sebab, partai tersebut pada pemilu beberapa 2004 lalu telah mampu mengalahkan suara Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amien Rais kala itu sebelum Soterisno Bachir yang pemilihnya kebanyakan dari Muhammadiyah. Kekalahan PAN tidak sedikit yang mengaitkan dengan PKS, karena memang kebanyakan anggota dan aktivis PKS adalah orang-orang Muhammadiyah. Sehingga timbul persepsi dari sebagian kalangan, bahwa kekalahan PAN tersebut dianggap selain sebagai kekalahan politik juga kekalahan ideologi gerakan Muhammadiyah atas PKS atau Ikhwanul Muslimin. Nah, benarkah analisa atau anggapan tersebut? Lalu, bagaimana fenomena banyak aktivis PKS juga menjadi aktivis Muhammadiyah? Pertanyaan tersebut nampaknya menjadi dilema bagi sebagian banyak pengurus Muhammadiyah. Lantas, siapa yang patut dipersoalkan bila Muhammadiyah terus dijadikan “rebutan” bukan dihidup-hidupi?
Pada titik krusial ini, maka pesan Kyai Dahlan di atas–yakni hidup-hidupilah Muhammadiyah–perlu kita renungi dan refleksikan kembali. Sebab, sebagaiaman disinyalir Dr. Haedar Naser bahwa ancaman dan tantangan besar yang melanda Muhammadiyah saat ini sebetulnya bukan saja dari luar, tapi dari dalam tubuh Muhammadiyah sendiri juga. Faktanya, belakangan ini sebagian besar kaum Muhammadiyah seolah “lupa” dan bahkan bosan menghidup-hidupi Muhammadiyah. Tentu saja, fakta di atas tidak terjadi begitu saja, ibarat ada kebakaran pasti ada apinya, begitu pula apa yang saat ini terjadi pada diri Muhammadiyah. Pertanyaannya, kenapa banyak fenomena warga Muhammadiyah tidak lagi semangat untuk menghidup-hidupi Muhammadiyah malahan lari dan tidak sedikit yang menghidup-hidupi organisasi lain.
Bagi hemat penulis, persoalan di atas sebetulnya pada satu pihak sesuatu yang wajar. Malahan, semua persoalan hidup ini memang diserahkan sepenuhnya pada setiap individu. Individu punya hak memilih dan menentukan nasib sendiri, pun juga dalam memilih dan menentukan organisasi, partai bahkan agama sekalipun. Cuma persoalannya tatkala seseorang sudah ikut sebuah organisasi lantas berpindah tentu semua pihak pasti ada yang mempersoalkannya. Nah, sebetulnya apa yang menyebabkan dan mendorong orang untuk pindah organisasi atau lainnya. Tentu alasannya sangat beragam, bila kita analisa beberapa faktor dan problem yang melatarbelakanginya adalah pertama, faktor pragmatisme. Faktor ini di satu pihak bisa jadi alasan wajar bagi masyarakat elit perkotaan yang sering dihadapkan pada kebutuhan serba instan dan praktis (practice needs). Di pihak lain, sikap pragmatisme merupakan gejala awal yang buruk sebagai bentuk inkonsistensi gerakan yang patut dipertimbangkan secara etis bagi semua pihak.
Belakangan ini, munculnya gejala dan sikap kurang konsisten dalam memperjuangkan persyarikatan mulai membesar dan sangat memprihatinkan. Misalnya saja, adanya Masjid Muhammadiyah yang tidak terkelola dengan baik, mencari Imam Jum’at atau khatib pun kesulitan. Justru ada masjid milik Persyarikatan yang pindah kelola ke tangan pihak lain, baik karena terlantar atau kelalaian, belum lagi amal-amal usaha Muhammadiyah lainnya.
Gejala di atas mengindikasikan bahwa orang-orang Muhammadiyah sudah tidak lagi sungguh-sungguh dalam mengelola masjid di lingkungannya. Padahal, KH Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah pada 1912 sebagai hasil dari suatu proses pergumulan yang penuh pertaruhan, bukan main-main. Berita lain yang tidak kalah mencemaskan, Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di tingkat bawah, mulai kalah saing oleh lembaga-lembaga sejenis milik organisasi lain. Dalam pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK), misalnya, TK Aisyiah Bustanul Athfal (ABA) telah disaingi oleh TK-IT (Islam Terpadu) atau sejenisnya, SD-MI, SMP-MTS, SMA-MA Muhammadiyah kalah oleh milik organisasi lainnya. Ironisnya, tidak sedikit yang ikut membesarkan TK-IT, SD, SMP, SMA lain tersebut adalah orang-orang Muhammadiyah sendiri, termasuk angkatan muda dan para karyawannya.
Dr. Haedar Nashir, salah satu pengurus Pusat Muhammadiyah, merasa sangat prihatin seiring dengan sikap acuh tak acuh sebagian warga Muhammadiyah dengan gerakannya seperti tersebut di atas. Bahkan, orang tua mereka juga bersikap pragmatis saja. Hal itu nampak kecenderungan orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke TK-IT atau SD-IT tersebut daripada ke TK ABA dan SD Muhammadiyah. Alasannya, karena dianggap mutunya lebih baik. Bahkan, ada TK ‘Aisyiah yang akan digusur oleh sebuah Yayasan yang sama-sama Islam bahkan orang Muhammadiyah juga ada yang menjadi pengurusnya.
Kedua, faktor ideologis, berbeda dengan faktor pragmatisme cenderung serba instant, alasan ideologis nampaknya menjadi argumen mendasar bagi sebagian banyak pihak yang tidak lagi mau mengaku sebagai warga persyarikatan Muhammadiyah belakangan ini. Bagi kelompok ini, ideologi Muhammadiyah dianggap tidak jelas. Pemihakan dan perjuangannya terhadap Islam pun juga dianggap tidak kompatibel (sejalan) dengan syariah Islam. Hal itu tercermin dari cara berpikir mereka yang selalu sering mengatakan bahwa banyak organisasi Islam di negeri ini tapi sayangnya kurang lantang menyuarakan bahkan mereka menganggap tidak tegas dan berani memperjuangkan syariat Islam dan Negara khilafah. Negara khilafah merupakan tujuan dan syariat yang harus ditegakkan. Bagi umat muslim yang tidak mendukung dan sejalan dengan gerakannya mereka anggap bukan muslim sejati. Di sinilah benturan ideologis (the clash of ideology) terjadi seru. Bahkan, tidak sedikit yang mengklaim bahwa semuanya paling benar (truth claim). Samuel P. Huntington dalam karya “the Clash of Civilization” menengarai perlunya membangun dialog tatkala beda paham dan ideologi. Sayangnya, acapkali perbedaan seringkali melahirkan konflik bukan budaya dialog.
Dalam konteks Syariah Islam, di Muhammadiyah isu tersebut sesungguhnya kurang tepat bila dipahami tidak diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Berbeda dengan organisasi lain seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan PKS yang memperjuangkan syariah via parpol, Muhammadiyah tetap memperjuangkan syariah Islam model “amar ma’ruf nahi munkar”. Konsep amar ma’ruf nahi munkar ini sayangnya kurang banyak dipahami dan dipelajari oleh banyak pihak. Padahal, ajaran dan konsep ideologis Muhammadiyah ini sangat substansial dan kompatibel dengan gerakan dan ideologi modern yang menghendaki tertib sosial sebagaimana yang diusung oleh tokoh sekaliber buya Hamka dan Talcot Parson.
Ketiga, kurangnya optimalisasi Amal Usaha Muhammadiyah. munculnya persaingan di tubuh Muhammadiyah akibat perbedaan ideologi, partai atau kepentingan lain bisa jadi juga disebabkan akibat kurang seriusnya warga Muhammadiyah dalam mengelola Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Sehingga, karena alasan tersebut banyak pihak kemudian mengambil alih dengan tujuan demi kemaslahatan ummat daripada tidak dimanfaatkan sebagaimana mustinya Amal Usaha itu dijaga dan dikembangkan. Oleh karena itu, warga persyarikatan sudah selaiknya membenahi diri sistem manajemen amal usaha Muhammadiyah baik yang berupa sekolah, universitas, yayasan dan panti asuhan maupun rumah sakit. Bagaimana amal usaha tersebut bisa dijadikan media dan sarana kaderisasi, pemantapan dan penguatan ideologi Muhammadiyah demi terwujudnya Islam yang sebenar-benarnya.
Faktor terakhir adalah kurangnya solidaritas sosial, ekonomi dan politik. Pada tiga aspek ini, nampaknya Muhammadiyah agak kurang begitu memperhitungkan. Misal saja, gerakan solidaritas sosial dengan mendakwahkan gerakan jamaah. Sayangnya, program tersebut nampaknya juga kurang maksimal. Demikian pula, pada aspek ekonomi, kritik Kyai Ahmad Dahlan atas orang Sholat yang lalai terhadap fakir miskin melalui kajian Surat Al-Maun yang akhirnya dikenal dengan peristiwa “Geger Ar-Raita”, merupakan penanda betapa pentingnya kontribusi ekonomi bagi umat. Dalam konteks politik, aspirasi warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam secara menyeluruh tentu juga butuh perhatian dan penyalur lidah warga Muhammadiyah dengan semangat ikhlas dan menjunjung nilai-nilai keadilan sosial serta kemanusiaan. Bukan “rebutan” jabatan dan kursi kekuasaan yang bersifat sementara.
Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini, penulis berharap gesekan ideologis, kepentingan politik dan perbedaan lainnya hendaknya disikapi dengan bijak. Sebab, perbedaan acapkali menjadi titik api terjadinya konflik sosial yang meresahkan dan mengkhawatirkan banyak pihak. Perdamaian dengan mentradisikan budaya dialog sudah laiknya disadari, dibangun dan dibudayakan demi mewujudkan masyarakat Indonesia multikultural yang senantiasa mencintai persahabatan dan perdamaian. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid atau pembaharuan senantiasa perlu terus menyalakan api semangat berlomba-lomba dalam kebaikan dan mencerahkan peradaban dunia. Wallahu a’lam.***
Biodata Penulis
Choirul Mahfud, adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya (FAI-UMS) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya. Penelitiannya mengenai multikulturalisme, agama dan politik menyebar di berbagai media massa baik lokal, nasional maupun internasional. Diantaranya di Washington Post, the Jakarta Post, CG News-PiH, Kompas, Jawa Pos, Suara Muhammadiyah dan lain-lain. Buku masterpiece-nya yang berjudul “Pendidikan Multikultural” diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pelajar Jogjakarta (2006) tidak sampai dua bulan telah terjual habis menjadi bestseller. Kini, selain mengajar juga masih aktif menulis, berdiskusi dan berseminar di berbagai forum lokal, nasional maupun internasional. Bila mau menghubungi, silahkan kirim ke Email: mahfudjatim@yahoo.com
Drs. RB. Khatib Pahlawan Kayo
Ketua PWM Sumbar 05 – 010
Di tengah-tengah kegalauan situasi politik saat ini dan rapuhnya keteladanan para tokoh, ada keprihatinan tersendiri para pengamat terhadap Muhammadiyah, apakah organisasi yang didirikan oleh K.H.Ahmad Dahlan ini akan tetap eksis dan selamat dalam menelusuri jalan hidupnya yang semakin berliku, terjal dan licin yang belum jelas kapan berakhirnya. Namun di sisi lain tidak sedikit pula yang memuji keberanian dan ketegasan Muhammadiyah dalam mempertahankan keyakinannya seperti apa yang terjadi pada sidang isbat penetapan hari raya Idul Fitri tahun 1432 H yang lalu dan kemudian menetapkan untuk tidak ikut lagi dalam sidang sejenis dalam tahun 1433 H.
Bukan hanya itu, banyak lagi bukti lain seperti apa yang diperjuangkan Muhammadiyah selama ini justeru merupakan mata rantai dokumen sejarah, bahwa pembaharuan pemikiran yang dibawa Muhammadiyah mendapat dukungan positif dari banyak kalangan intelektual dan akademisi tak terkecuali yang tadinya ragu-ragu bahkan menolaknya, tapi kemudian menjadi pengawal dan pembelanya. Kondisi itu menjadi semakin kuat karena Allah juga memperlihatkan keberpihakkan-Nya terhadap setiap kebenaran yang terlebih dahulu harus ditegakkan dengan penuh perjuangan dan kejujuran meskipun sarat dengan berbagai tantangan dan ujian.
Dukungan yang mengalir terhadap Muhammadiyah tentu bukan tidak beralasan, sekurang-kurangnya orang melihat betapa sepak terjang pemikiran yang dikembangkan dan amal usaha yang didirikan Muhammadiyah secara bersungguh-sungguh telah membawa manfaat untuk masyarakat luas. Mereka menyaksikan betapa gigih dan ter-ujinya semangat ber-fastabiqul khairaat yang dimiliki warga Muhammadiyah dalam menggeluti amal usaha tersebut yang bukan pekerjaan gampang karena tidak semua orang mampu melakukannya. Para pendukung dan pemerhati juga menyadari betapapun kecilnya amal usaha itu pasti memerlukan kemampuan manajemen yang solid dan kesabaran yang luar biasa, lebih-lebih untuk menggerakkan tenaga yang jumlah besar sukarela tanpa digaji, bersamaan dengan itu juga harus mencari dana yang tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup amal usaha yang begitu banyak, seperti Sekolah/Madrasah, Panti Asuhan, Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Penyantunan fakir miskin, Masjid, Mushalla, sampai perguruan tinggi dan sebagainya.
Apalagi yang digerakkan oleh Muhammadiyah ruang lingkupnya teramat luas, bukan hanya amal usaha dalam bentuk bangunan-bangunan fisik seperti yang disebutkan di atas, melainkan secara simultan juga harus memikirkan bagaimana sumber daya manusianya yang senantiasa perlu ditingkatkan, baik kecerdasan maupun wawasan keilmuan, komitmen dan kompetensinya untuk bisa tumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan di era globalisasi yang semakin kompetitif.
Saat ini bukanlah pekerjaan ringan mengajak masyarakat untuk istiqamah dalam mempertahakan aqidah yang bersih dari syirik, khurafat dan tahayul, dan bukanlah pula mudah untuk menyelamatkan warga dari ibadah yang bebas dari pencemaran bid’ah dan tipu daya aliran sesat. Begitu pula jangan dikatakan pekerjaan enteng membawa pribadi dan keluarga berperilaku akhlaqul karimah yang jauh dari pengaruh gaya hidup modern ala barat yang sekuler. Sama halnya tidaklah gampang mengajak masyarakat untuk berdakwah dalam koridor bermu’amalah yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Sunnah. Semuanya itu memerlukan kemampuan leadership dan management yang handal dan profesional.
Sekarang tidaklah heran bila banyak teman yang dulu bersemangat untuk sama-sama berjuang dalam barisan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, kini tidak peduli bahkan membelakang tanpa hirau. Bagitu pula banyak hartawan dermawan mulai menurun dukungannya kepada ormas-ormas keagamaan, sejalan dengan melemahnya kharismatik para pemimpin dan ulama. Kini semakin banyak aghinya’ mempertanyakan kredibilitas para pengurus masjid dan pengelola zakat, infaq dan shadaqah, bersamaan dengan kurang pekanya para pengelola terhadap kritik dan tidak akuntabelnya laporan keuangan. Akhirnya gerak dakwah semakin melemah, kegairahan berorganisasi semakin menurun. Di sisi lain gaya hidup modern yang larut dalam efouria politik, hedonistik dan materialistik tanpa filter semakin meluas dan merata, baik di kota maupun desa, sehingga banyak yang tenggelam dibawa arus. Biasa kita lihat saat ini kader dan pemimpin yang mudah berpindah-pindah kapal untuk berlayar, namun tujuan semakin semu, karena orientasi tidak lagi murni karena Allah melainkan karena berbagai kepentingan dan kebutuhan yang sifatnya jangka pendek dalam skala yang sangat terbatas.
Kondisi demikian saat ini hampir menyeluruh, tidak saja dalam persyarikatan Muhammadiyah, tapi merata hampir di seluruh wadah. Namun sebagai sebuah organisasi dakwah yang mengusung faham tajdid sejak satu abad yang lalu, Muhammadiyah telah bertekad tidak akan pernah mundur dan menyerah, karena Muhammadiyah yakin bahwa “setiap orang beriman yang benar-benar menolong agama Allah, Allah akan menolongnya dan memperkuat kedudukannya”. (Q.S. 47 : 7). Dan lebih meyakini lagi bahwa bagi siapa yang tetap bersungguh-sungguh berjuang di jalan-Nya untuk meraih keridhaan-Nya, Allah juga akan membukakan berbagai jalan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. (Q.S. 9 : 69).
Sepertinya pengalaman itulah yang dirasakan oleh Muhammadiyah dalam mendayung bahtera organisasinya lebih dari satu abad. Memang pahit getir, onak dan duri tidak pernah hilang bahkan telah menjadi sarapan paginya, tantangan dan rintangan silih berganti telah menjadi pakaiannya, tekanan dan intimidasi telah menjadi tradisi membakar semangatnya. Namun di balik itu semua, nikmat, rahmat dan karunia Allah yang dirasakan juah lebih besar, karena bagi Muhammadiyah keberhasilan amal usaha yang didirikannya, kemudian dapat membebaskan kaum dhu’afa’ dari kemiskinan, mencerdaskan bangsa dari kebodohan dan keterbelakangan dan mencerahkan umat menghadapi kemajuan benar-benar merupakan kepuasan hati dan kenikmatan jiwa yang tak terkira, meskipun jauh dari kehidupan yang mewah dengan harta yang melimpah, dan dengan berbagai kedudukan dan kekuasaan.
Alhamdulillah dengan prinsip hidup yang demikian, tidak sedikit anak-anak yatim yang disantuni di berbagai panti asuhan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang kemudian menjadi orang besar dan berguna bagi bangsa dan tanah air. Tidak sedikit pula alumni sekolah/madrasah Muhammadiyah/’Aisyiyah sejak dari TK Bustanul Athfal sampai Perguruan Tinggi telah mengabdi untuk kepentingan masyarakat dan bangsa. Begitu pula cukup terbilang tokoh intelektual, ulama dan muballigh Muhammadiyah yang tampil sebagai pemimpin umat yang mencerahkan. Semuanya itu merupakan karunia Allah Swt yang luar biasa karena dengan izin-Nya Muhammadiyah dapat berusia panjang dan sejalan dengan itu dapat pula berbuat kebajikan yang beragam jumlahnya.
Orang-orang yang cerdas dan mampu membaca sejarah, tentu tahu bahwa Muhammadiyah di samping ikut membidani kelahiran republik ini, juga merupakan pilar kekuatan bangsa yang telah teruji kesetiaan dan keikhlasannya, sehingga tanpa ragu ikut memberi warna terhadap pertumbuhan dan perkembangan bangsa ini dengan berbagai upaya pembangunan seperti bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi dan bidang-bidang lainnya yang tak pernah henti hingga sekarang dan untuk masa datang, insya Allah.
Kini, dalam usianya memasuki abad ke-2, Muhammadiyah juga bertekad akan terus melanjutkan kiprahnya, meskipun dirasakan betapa berat dan besarnya tanggung jawab yang harus dipikul di masa datang, ibaratnya “Muhammadiyah akan berlayar di tengah karang”. Harapan kita tentu mudah-mudahan kepemimpinan Muhammadiyah saat ini betul-betul didukung oleh personil yang memenuhi harapan umat. Hendaknya mereka yang benar-benar ikhlas, sehat fisik dan mental, kuat aqidah dan tertib ibadah, amanah, cerdas, berilmu dan berpengalaman luas memimpin persyarikatan, punya waktu yang cukup dan berakhlaq mulia serta punya kemampuan ekonomi dan juga memahami karakteristik Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Gerakan Dakwah dan Gerakan Tajdid, di samping memiliki kekuatan “uswatun hasanah” baik pribadi maupun keluarganya.
Dengan demikian, mudah-mudahan Muhammadiyah tetap kuat dan berhasil membina kadernya yang siap meningkatkan kualitas amal usahanya untuk mendukung perjuangan mencapai “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” menuju “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur”. [Majalah Tabligh edisi Dzulqaidah - Dzulhijjah 1433 H]
Oleh Dr. H. Haedar Nashir M.Si
Indonesia sebagai Negeri Muslim terbesar di dunia sesungguhnya merupakan ladang subur bagi gerakan - gerakan dakwah untuk menyemai benih - benih ajaran Islam sehingga melahirkan buah peradaban yang utama. Nusantara yang dulu mayoritas beragama Hindu dan kepercayaan lokal berubah total menjadi negeri dengan penduduk terbesar umat Islam. Hal itu tidak terlepas dari cara berdakwah yang mampu memikat hati dan menawarkan jalan hidup yang memberi harapan terbaik bagi masyarakat di negeri kepulauan ini.
Islam laksana matahari yang menyinari bumi Indonesia sehingga anugerah iman umatnya tetap terawat subur sampai sekarang. Sungguh tak ada perubahan yang signifikan pada prosentase kepemelukan agama di negeri ini, hingga umat Islam tetap mayoritas dengan 88,21% (Sensus 2010) dibandingkan penganut agama-agama lain. Peluruhan prosentase hanya di kisaran satu. Sehingga masih tetap memberi jaminan pada kepemelukan agama Islam dan tentu saja masih bisa ditingkatkan lagi dengan usaha-usaha dakwah yang lebih unggul.
Karenanya pertu meninjau ulang dan memperbarui pesan, pendekatan, strategi, dan langkah-Iangkah dakwah Islam agar selain mampu merawat jumlah kepemelukan sekaligus secara kualitas menjadikan pemeluk Islam sebagai umat terbaik (khair al-ummah) di negeri ini. Dakwah Islam harus benar-benar mencerahkan Indonesia. Di sinilah pentingnya dakwah pencerahan yang menyinari penduduk negeri, sehingga Indonesia menjadi negara dan bangsa yang berkemajuan.
Dakwah Pencerahan
Dakwah pencerahan ialah usaha-usaha menyebarluaskan dan mewujudkan ajaran Islam sehingga melahirkan perubahan ke arah yang lebih baik, unggul, dan utama dalam kehidupan pemeluknya dan menjadi rahmat bagi masyarakat luas di semesta alam. Dakwah pencerahan dalam setiap usahanya bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di segala bidang dan Iingkup menuju raihan terwujudnya peradaban yang utama. Dakwah yang demikian memertukan pembaruan terus-menerus sehingga bersifat unggul dan alternatif.
Dakwah pencerahan sesungguhnya senapas dengan juwa dan konsep dakwah itu sendiri. Dakwah itu sifatnya mengeluarkan umat manusia dari segala bentuk kegelapan-kejahiliyahan menuju pada keadaan terang-benderang atau takhrij min al dhulumat ila al-nur (AS AI-Baqarah: 257). Itulah dakwah yang berwatak tanwir, yakni dakwah pencerahan. Sejatinya, dengan sifatnya yang demokratis dan membawa perubahan menuju ke jalan Allah yang menyelamatkan kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat, maka dakwah itu memang harus mencerahkan.
Sebaliknya, bukanlah dakwah kalau tidak menyinari atau tidakmencerahkan kehidupan, baik kehidupan para pemeluknya maupun umat manusia keseluruhannya. Dakwah secara konseptual merupakan usaha mengajak pada Islam secara demokratis, bukan monolitik dan paksaaan.
Tak ada sebuah istilah yang paling demokratis dalam mozaik ajaran Islam kecuali kata dakwah. Dakwah berasal dari akar kata "da'a-yad'u-da'wata", artinya "memanggil", "menyeru", dan "menjamu". Yakni memanggil, menyeru, dan menjamu orang agar mau berada di jalan Allah menuju keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Artinya, dakwah dalam pandangan dan praksis apapun meniscayakan pendekatan, strategi, dan cara yang berproses secara terbuka dan timbal-balik, bukan yang tertutup dan monolitik. Dakwah itu harus cerdas-bijaksana (bil-hikmah), edukatif yang baik (wal al-mauidhat al-hasanah), dan dialogis yang unggul (wa jadil-hum bi-Iatiy hiya ahsan) sebagaimana dititahkan Allah (Qs. AI-Nahl: 125).
Adapun secara defenitif, dakwah menurut Muhammadiyah ialah "panggilan atau seruan bagi umat manusia menuju jalan Allah (Qs. Yusuf: 108) yaitu jalan menuju Islam (Qs. Ali Imran:19)". Dakwah sebagai "upaya tiap Muslim untuk merealisasikan (aktualisasi) fungsi kerisalahan dan fungsi kerahmatan". Fungsi kerisalahan dari dakwah ialah "meneruskan tugas Rasulullah (Qs. AI-Maidah: 67) menyampaikan dinul-Islam kepada seluruh umat manusia (Qs. Ali Imran: 104, 110, 114)". Sedangkan fungsi kerahmatan berarti "upaya menjadikan (mengejawantahkan,mengaktualkan, mengoperasionalkan) Islam sebagai rahmat (penyejahtera, pembahagia, pemecah persoalan) bagi seluruh manusia (Qs. AI-Anbiya: 107)".
Karenanya, setiap usaha dakwah Islam oleh siapa, kapan, dan di mana pun haruslah membawa pencerahan dari keadaan "al-dlulumat" atau sistem yang gelap-gulita kepada kondisi yang serba "al-nur" atau penuh cahaya yang terang di segala lapangan kehidupan. Dalam bidang sosial-politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan aspek-aspek lainnya melalui dakwah harus terbangun kehidupan umat manusia setahap demi seta hap menuju pada kondisi yang cerah dan mencerahkan. Di sinilah jiwa, pikiran, dan langkah dakwah pencerahan menuju Indonesia bekemajuan. Melaui dakwah haruslah terjadi bahwa Islam benar -benar menjadi rahmatan 1iI-'alamin di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
Kepada umat Islam sendiri usaha-usaha dakwah itu harus mencerahkan. Jika umat Islam sebagai mayoritas masih jauh dari ajarannya, tertinggal di banyak bidang kehidupan, besar kuantitas tetapi minim kualitas, merasa asing di rumahnya sendiri, sulit bersatu dan masih saling bermusuh-musuhan, serta kalah dalam banyak hal dari umal atau bangsa lainnya maka berarti. usaha-usaha dakwah Islam belum bersifat mencerahkan. Apalagi manakala atasnama dakwah terjadi pemunduran kehidupan umat, maka dakwah seperti itu secara tidak disadari bersifat penggelapan, yang tentu saja bertentangan dengan jiwa dan prinsip dakwah sendiri.
Gerakan Pencarahan
Dakwah pencerahan atau dakwah yang mencerahkan dalam perspeklif Muhammadiyah melahirkan gerakan pencerahan. Gerakan pencerahan ini bagi Muhammadiyah sesungguhnya bukan akan, tetapi telah dimulai sejak Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah seabad yang silam. Kehadiran Muhammadiyah melalui gerakan tajdid atau pembaruannya tidak lain sebagai wujud dakwah dan gerakan pencerahan. Gerakan mengembalikan umat pada sumber ajaran AI-Quran dan Sunnah Nabi yang murni dengan mengembangkan ijtihad di banyak bidang kehidupan merupakan aktualisasi dari dakwah pencerahan.Demikian pula dalam hal pelurusan arah kiblat, pembaruan sistem pendidikan, pemberdayaan masyarakat dhu'afamustadl'afin melalui AI-Ma'un, mendirikan gerakan perempuan Islam berkemajuan yakni Aisyiyah, serta berbagai dakwah bi Iisan dan bil-hal yang bersifat maju lainnya sungguh merupakan wujud nyata dari gerakan Muhammadiyah dalam menghadirkan dakwah pencerahan. Muhammadiyah bahkan terlibat aklif dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan dan pada langgal17 Aguslus 945 terlibat aktif dalam meletakkan fondasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muhammadiyah bukan hanya berkeringat deras, telapi bahkan menjadi pendiri Republik ini.
Karenanya kini para anggota, mubalig, aktivis, dan pimpinan Muhammadiyah di mana pun termasuk yang berada di, Organisasi Otonom, Majelis, Lembaga, Amal Usaha, dan seluruh lingkungan Persyarikatan harus secara masif menggerakkan kembali jiwa, pikiran, dan langkah-Iangkah dakwah pencerahan ke dalam gerakan pencerahan saat ini di negeri tercinta ini. Gerakan pencerahan sebagai aktualisasi dakwah pencerahan dalam Muhammadiyah digelorakan kembali pada Muktamar ke 46 tahun 2010 di Yogyakarta sebagaimana terkandung dalam "Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua". Dinyatakan, bahwa Muhammadiyah pada abad kedua berkomilmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan.Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kullural. Gerakan pencerahan menampilkan Islam untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan. Gerakan pencerahan berkomitmen untuk mengembangkan relasi social yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-Iaki dan perempuan, menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan, dan membangun pranata sosial yang utama.
Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasithiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-Iaki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.
Muhammadiyah dalam melakukan gerakan pencerahan berikhtiar mengembangkan strategi dari revitalisasi (penguatan kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan amal usaha dan aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang memihak kaum dhu'afa dan mustadh'afin serta memperkuat civil society (masyarakat madani) bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Dalam pengembangan pemikiran Muhammadiyah berpijak pada koridor tajdid yang bersifat purifikasi dan dinamisasi, serta mengembangkan orientasi praksis untuk pemecahan masalah kehidupan. Muhammadiyah mengembangkan pendidikan sebagai strategi dan ruang kebudayaan bagi pengembangan potensi dan akal-budi manusia secara utuh. Sementara pembinaan keagamaan semakin dikembangkan pada pengayaan nilai-nilai akidah, ibadah, akhlak, dan mu'amalat-duniawiyah yang membangun keshalihan individu dan sosial yang melahirkan tatanan sosial baru yang lebih religius dan humanistik.
Dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (ai-jihad Ii-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (ai-jihad Ii-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.
Adapun dalam kehidupan kebangsaan Muhammadiyah mengagendakan revitalisasi visi dan karakter bangsa, serta semakin mendorong gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang lebih luas sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju maka diperlukan transformasi mentalitas bangsa kearah pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kuat. Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya. Sementara nilai-nilai kebangsaan lainnya yang harus terus dikembangkan adalah nilai-nilai spiritualitas, solidaritas, kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan.
HAKIKAT MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar-ma'ruf nahi mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya
Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
MUHAMMADIYAH DAN POLITIK
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya
Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah.
Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa:
Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya.
DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta'at beribaclah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat
Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.