MAKALAH
AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAAN 1
Oleh:
ü
Herliansyah
Syafrudin
ü
Ernawati
ü
Masrun
Ta’laleng
Universitas muhammdiyah kupang
Tahun ajaran 2014-2015
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
belakang
Muhammadiyah,
sebagai gerakan keagamaan yang senantiasa merujuk pada ajaran Islam Yang
menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagi sumber rujukan. Di satu sisi sejarah
selalu melahirkan berbagai persoalan, dan pada sisi yang lain Islam menyediakan
referensi atas berbagai persoalan tersebut. Orientasi pada dimensi ilahiah
inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio-kultural lainnya, baik
dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional
penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi
pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi pemikiran keislamannnya.
Pemikiran
keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan
keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse (wacana)
keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia.
Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya
penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses penafsiran.
namun Mengingat proses penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan
dasar) tentang agama dan kehidupan, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya
secara spesifik. Dengan demikian diharapkan rûhul ijtihâd (semangat untuk
menggali ajaran agama dari sumber-sumbernya) dan tajdîd (upaya pemurnian dan
pembaharuan pemikiran keislaman) terus tumbuh dan berkembang.
Dari wacana yang
terus bergulir, orang pun selalu mempertanyakan: “Bagaimana Muhammadiyah
memahami Islam sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk mendapatkan jawaban yang
yang mendekati kebenaran Islam yang sejati? Dan apa prinsiap-prinsip
muhammadiyah dalam mengamalkan ajaran agama islam.? Nah, disinilah tugas kami
sebagai mahasiswa Universitas Muhammdiyah ndi tuntut untuk mengetahuai hal
tersebut dan akan kami bahas dalam makalah kami ini.
- Rumusan
masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
penulis merumuskan rumusan Masalah sebagai berikut:
1.
apa yang di maksud prinsip-prinsip muhammadiyah
dalam mengamalkan ajaran
islam?
2. jelaskan prinsip-prinsip muhammadiyah
dalam mengamalkan ajaran
islam?
C. Tujuan
1. untuk
memenuhi tugas Al-Islam kemuhammadiyaan
2. untuk
menambah pengetahuan dan pemahaman kami tentang
prinsip-prinsip dalam
mengamalkan ajaran islam .
BAB II
PEMBAHASAN
- Prinsip-Prinsip
Muhammadiyah Dalam Mengamalkan Ajaran
Islam
Islam secara
normatif harus dipahami secara tepat, dan pada tahap implementasinya.
memerlukan kecerdasan umatnya untuk menerjemahkan dalam konteks yang
berbeda-beda. Itulah kurang lebih yang meresahkan KH.A. Dahlan, setelah melalui
pengembaraan intelektualnya dalam realitas kehidupan umat Islam yang
ternyata menurut pengamatannya masih
memahami dan mengamalkan Islam secara sinkretik.[1]
Ketika pengertian tentang (agama) Islam sudah
dipahaminya, lalu muncul pemikiran pada dirinya bahwa untuk melaksanakan (agama)
Islam sebagaimana yang dipahaminya itu umat Islam di Indonesia, bahkan di
seluruh dunia, harus diberi pengertian yang tepat tentang (agama) Islam, lalu
diarahkan untuk dapat melaksanakannya secara proporsional. Itulah gagasan KHA.
Dahlan yang kemudian dikenal luas sebagai seorang Kyai yang sangat cemerlang
pada masanya, di ketika hampir semua orang di sekelilingnya merasa puas dengan
apa yang (sudah) ada.
KH. A. Dahlan
memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk
siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif
Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci
dijelaskan oleh Rasulullah SAW. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî
(tindakan), fi’lî (ucapan) dan taqrîrî (sikap). Hanya saja apa yang dikerjakan
oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda,
dan oleh karenanya memerlukan ijtihad.[2]
Ijtihad dalam
ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat
bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah
secara kritis. Ia sangat menyayangkan adanya sikap taqlid[3]
umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang
pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam
agar memiliki keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan
kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah
ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi minimal menjadi sikap Ittiba’[4]
. Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi’ yang secara
sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant
(jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh)
- Prinsip-prinsip
Utama Pemahaman Agama Islam Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama
pemahaman (agama) Islam:
Ø
Ajaran
agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di
dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh
karena itu, semua orang Islam harus memahaminya.
Ø
Hasil
pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan
menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.
Dari kedua
prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut
doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat)
berubah-ubah selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini
bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi
justeru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali
pemahaman agama Islam sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan
as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat
tetap, sedang interpretasi-[5]nya
bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami
kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu
selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun.
- Mengamalkan
al-Quran
Untuk memahami
al-Quran menurut Muhammadiyah diperlukan seperangkat instrumen[6]
yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam
kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk
memahami Islam, yaitu: ijtihad.
Kandungan
al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan
kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi[7]
dan penyimpulan yang tepat terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras
seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap orang yang ingin secara tepat
memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus sadar, bahwa sehebat apa pun
seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar
menemukan kemungkinan-kemungkinan kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya
bernilai relatif.[8]
Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman
orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai
kebenaran al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah kebenaran ilahiah, sedang
tafsir atas al-Quran adalah kebenaran insaniah. Akankah kita menyatakan bahwa
Manusia akan sebenar Tuhan? Jawaban tepatnya: mustahil. Oleh karena itu, yang
dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya
untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan harus menghasilkan kebenaran
absolut, karena akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran
sejati dari Allah.
Akhirnya, kita
pun harus sadar bahwa tidak akan ada pendapat (hasil pemahaman al-Quran) yang
pasti benar. Tetapi sekadar “mungkin benar”.
- Mengamalkan
Ajaran Islam Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah
Ketika kita
berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun
terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk
as-Sunnah sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil
pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk
perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang
terjamin kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma ishmah ar-rasûl.
Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar dalam
berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran atas
kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh
Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w.
Untuk itu, yang
kita perlukan sekarang adalah: membangun kearifan menuju pada pemahaman yang sinergis[9]
dan seimbang.
- Berislam
Secara Dewasa
Muhammadiyah
selama ini memperkenalkan Islam yang arif, yang dirujuk dari apa yang dikandung
dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola istinbath[10]
yang proporsional.[11]
Muhammadiyah
menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas
dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî[i][12]
maupun manhajî[13].
Tetapi Muhammadiyah bukan berarti anti mazhab. Karena, ternyata dalam memahami
Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga
Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” (kokoh/kuat) dan
meninggalkan yang “marjûh” (rapuh/lemah).
Pola pikir yang
diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad
secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang
ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara simultan[14]
untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih)
operasional.
- Ijtihâd
bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks)
al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan
hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya
berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illât;[15]dan
ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari
realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah (kebaikan), karena
tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk
melakukan qiyâs.
Rukun-rukun qiyas
1.
Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis
‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat
menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
2.
Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah
(yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.
Hukum
ashal, yaitu hukum
dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan
ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya.
4.
‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada
ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada
fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama
dengan hukum ashal.
Hasil pemahaman
dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke
dalam pengembangan pemikiran yang mungkin saja linear atau berseberangan,
berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan
keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam
harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi[16]
pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada
pada pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium
purifikasi (pemurnian) dan reinterpretasi (penafsiran ulang) baik yang bersifat
dekonstruktif (membuang, meniadakan dan menganggap tidak berlaku) maupun
rekonstruktif (memperbaharui, menyelaraskan dan menjadikannya relevan).
Sekali lagi, yang
perlu dibangun adalah: kearifan dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana
pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah
keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal (hablun minannâs,
hubungan antarmanusia) dan sekaligus vertikal (hablun minallâh, hubungan antara
manusia dengan Allah)
- Matan Keyakinan Dancita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) .
Prinsip-prinsip pemahaman
islam dalam gerakan
muhammadiyah adalah rumusan
yang di sebut dengan
matan keyakinan dancita-cita hidup muhammadiyah. naska ini
awalnya di rumuskan pada
muktamar ke-37 tahun 1968
di Yogyakarta, dan di tetapkan
pada siding tanwir, tahun
1969 di ponorogo.
Adapun
tujuan rumusan ini yaitu untuk di jadikan bekal bagi seluruh
warga muhammadiyah secara
ideologis ,khususnya sebagai
lalu lintas alam pikiran
yang semakin terbuka pada saat itu
KH. Ahmad Azhar
Basyir yang merupakan
ketua PP muhammadiyah pada
periode 1990-1993,beliau
mengemukakan bahwa setelah
kelahiran orde baru,pimpinan
pusat muhammadiyah berusaha membahas
tentang permasalahan
mendasar yang berkaitan dengan
perkembangan zaman yang erat
dengan warna lalu lintas dan
pluralitas alam pikiran,terutama alam pikiran keagamaan.yang semakin bebas dan terbuka. MKCH inilah
maka pimpinan dan warga muhammadiyah akan tetap
memiliki pijakan yang jelas.sehingga tidak terjadi perpecahan dan
polarisasi,baik dalam tataran pemikiran maupun pada tingkat gerakan dakwa muhammadiyah.
Di jelaskan bahwa
kebijakan orde baru orde baru di dalam mensosialisasikan politiknya, adalah
dengan memantapkan ideology pancasila. Makanya di kuatirkan apabila
Muhammadiyahmenggunakan kata ideology dalam’’ ideology gerakannya’’maka akan
terjadi bias pengertian seolah-olah
Muhammadiyah memiliki pengertian ideology lain selain ideology pancasila.
Oleh sebab
itu,susunan materi MKCH Muhammadiyah ini sebagai sebuah ikhtiyar yang bersifat
internal untuk nmelakukan Tajdidi Ideologi dengan tidak menggunakan kata “ideologi.”(Haeder Naser,1992).
- Maslah
lima
Ada lima masalah
fundamental yang harus di cermati terus oleh warga persyarikatan. Disini penulis menggunakan istilah Pokok
Pikiran. Yaitu:
Ø Pokok pikiran pertaama,merupakan pokok pikiran
yang substansial,esensial,dan ideologys tentang penegasan hakekat Muhammadiyah
dan hakekat islam dalam panndangan Muhammadiyah. Penegasan ini merujuk pada
muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang telah di rumuskan terdahulu,namun
dalam MKCH ini lebih di mantapkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan islam yang
melaksanakan kewajiban Agama dengan
mmbentuk wadah organisasi,di mana organisasi itu termasuk kategori urusan dunia yang di perlukan adanya
untuk melaksanakan kewajiban agama. Oleh sebab itu maka pembentukaan organisasi
termasuk dalam kaidah :” Mala yatimu al wajib illa biha fa huwa wajib “.
Makanya wujud organisasi Muhammadiyah
adalah Fi sabillah,yang bernilai ibadah dan ini harus
di inspirasikan terus oleh semua warga persyarikatan . artinya berjuang untuk
tegaknya kalimah Allah yang harus di
tempuh dengan berbagai macam usaha Muhammadiyah ( Djindar Tamimy,1981).
Ø Pokok pikiran kedua, mengandung penegasan
tentang hakikat agama islam dan keyakinan Muhammadiyah atas agama islam itu
sendiri. Rumusan Ini berkaitan dengan kitab Maslah Lima yang terdapat di dalam
HPT. terutama pada kata atau kalimat ma
huwa al-din? Penekanan bahwa islam adalah agama yang di butuhkaan manusia
sepanjang masa untuk pemenuhan kebutuhan
hidup yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat nanti. Hal itu sangat
sejalan dengan apa yang di katakan bahwa Agama Islam adalah ajaran yang
Rahmatan Lil’alamin. Muhammadiyah sangat berkeyakinan bahwa Agama islamlah Agama Allah yang telah di wahyukan kepada
Rasulnya mulai dari Nabi Adam AS.sampai dengan
Nabi Muhammad SAW, sebagai hidayah dan Rahmat Allah SWT.kepada umat
manusia sepanjang masadan menjamin kesejahteraan hidup materi dan spiritual,duniawi dan
ukhrawi. Untuk menegaskan batasan agama islam ini Azhar Basyir menegaskan;”kita
tidak menyebut Yahudi dan Kristen sebagai nama agama wahyu resmi.Agama wahyu
resmi hanyalah islam“Inna al dina ‘inda
al-allahi al-islam “(QS. Ali Imran ayat
19).Djindar tamimy menegaskan bahwa muhammadiyah berkeyakinan
,dinul islam risalah atau pesan-pesan Allah yang mengandung satu kesatuan
ajaran yang utuh dan terpadu,penuh keserimbangan dan keserasian.risalah itu mengandung:
1. petunjuk mengenai pola hidup dan kehidupan
yang benar yang di ridoi allah swt
2. petunjuk allah mengenai pedoman pokok pelaksanaan untuk terwujudnya
pola hidup dan kehidupan di
3. petunjuk allah
mengenai sistim kepemimpinan dalam
melaksanakan pedoman pokok dalam rangka
mewujudkan pola hidup.
Ø pokok pikiran ketiga,masalah sumber ajaran,
Dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa
ajaran islam.dengan pandangan inilah maka
muhammadiyah menunjukan komitmennya
yang begitu kuat
kepada al-qur’an dan sunnah rasul sekaligus bersifat kritis dan selektif. sedangkan selain
al-qur’an dan sunnah rasul bukanlah sumber. pemanfaatan akal
pikiran adalah untuk mengembangkan pemahaman dan pengamalan terhadap isi ajaran Al-qur’an dan
sunnah rasul.pendirian seperti inilah
sesuai dengan putusan majelis tarjih
sebagaimana tertuang dalam
masalah islam. dalam mtn di sebutkan
bahwa Muhammadiyah dalam
mengamalkan islam bedasarkan kepada
alquran dan sunnah rasul.
Ijma dan
qiyas dalam pandangan muhammadiyah, setelah
di rumuskan masalah lima dan MKCH
termasuk dalam cakupan pendapat ijtihad,bukan sumber ajaran islam,sebab
pemikiran islam harus terus berkembang sesuai dengan perkembangannya kemampuan akal pikiran,dan perkembangan kehidupan masyarakat. bagi muhammadiyah
ijtihad mutlak di perlukan bagi umat
islam seluruhnya, pintu ijtihad muhammadiyah tetap terbuka, tidak pernah dan
tidak boleh di tutup oleh siapapun hanya
saja di perlukan perangkat ilmu dan metodologisnya yang sesuai
dengan jiwa ajaran islam.
Pokok
pikiran keempat, membahas bidang ajaran
islam, muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya ajaran islam yang meliputi
bidang-bidang akidah,akhlak,ibadah dan muamalah duniyawi. aqidah islam menurut muhammadiyah bersumber kepada
al-qur’an dan sunnah rasul.
Akal pikiran di
perlukan untuk menggukuhkan kebenaran
Al-qur’an dan sunnah rasul bukan untuk menta’wilkan ajaran aqidah yang memang di luar jangkauan
akal manusia.itu bukan wewenang akal,maka tidak boleh di perdebatkan. dalam
mengimplementasikan aqidah islam yang
murni, bersih dari gejala kemusryrikan, tahayul, bid’ah dan khurafat, namun tetap menumbuhkan sikap
tasamuh terhadap penganut paham lain dan agama lain, serta tidak memaksa kan ajaran islam kepada
orang lain,dengan tetap memberikan gambaran, bahwa agama yang menjamin
memberikan kehidupan yang hakiki di dunia dan di akhirat hanyalah islam. inna al-dina ‘indah al-allahi al-islam, haris dimaknai agama yang
benar dan di ridoi Allah hanyalah Agama
islam.
Allah SWT tidak
menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak akan tercapai dalam hal aqidah, sebab akal manusia tidak
mungkin mencapai pengertian tentang zat Allah, dan hubungannya dengan
sifat-sifat yang ada padanya. maka janganlah membicarakan hal itu. tak ada
kesangsian tentang wujud allah. ”adakah orang yang ragu tentang allah, yang
maha menciptakan langit dan bumi” QS Ibrahim (14)ayat 10 (HPT), 1983).
Bidang akhlak
Muhammadiyah memandang bahwa sumber akhlak islam hanyalah al-qur’an dan sunnah
rasul,tidak bersedia kepada
nilai-nilai ciptaan manusia, walaupun al-quran dan sunnah menggakui adanya
sumber ‘Qalb’atau ‘basirah’ yakni hati
nurani, namun tolak ukurannya tetap al-qur’an dan As- sunnah (Hambali, 2006).
Bidang ajaran
islam berikutnya adalah bidang ibadah.istilah
ibadah dimaksud tentunya ibadah “
mahda” di tegaskan bahwa muhmmadiyah
bekerja untuk tegaknya ibadah yang di tuntunkan Rasulullah SAW,tambah ada
tambahan,pengurangan dan perubahan dari
manusia. itulah sebabnya Muhammadiyah slalu melakukn penelitian,terhadap dalil
yang berkaitan dengan ibadah, konsekwensinya apabila di temukan dalil-dalil
yang lebih kuat,maka muhammadiyah akan
memperbaiki pendapat lamanya. Keputusan tersebut terkadang merefisi pendapat
KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri muhamadiyah.Itulah sebabnya jangan mengatakan,
tarji tidak menghargai pendirinya, ini jelas tidak proporsional (azhar basyir
1992).
Aspek yang
berkaitan dengan masalah ibadah dalam arti ibadah ummah adalah aspek muamalah
duniawiyah, yang titik beratnya pada pengelolaan dunia dan pembinaan
masyarakatnya, dan termasuk didalamnya adalah pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pengembangan skill manusia itu sendiri. Dalam hal ini
muhamadiyah berpendapat bahwa islam telah memberikan wewenang terhadap akal
seluas-luasnya sehingga seluruh warga muhamdiyah herus menguasai ilmu
pengetahuan dan berbagi profesi dalam kehidupan yang dinamis ini, dengan tetap
berpijak pada ilmu agama. Ilmu agama yang membimbing akal dan hati nurani dalam
berkarya, dan menjalani profesi.
Pokok pikiran kelima, ini berkaitan erat dengan fungsi dan misi
muhamadiyah, dalam masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Perlu dicermati bahwa
muhamadiyah terus mengajak kepada seluruh warga atau elemen bangsa ini, untuk
terus mensyukuri nikmat yang diberikan Allah swt kepada bangsa dan Negara kita
yang tercinta ini, berupa kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, tanah
air yang luas, kemerdekaan bangsa, dan Negara Indonesia berdasarkan pancasila, sembari
terus menjadikan Negara ini yang adil dan makmur diridoi Allah swt “Baldatun Tayyibatun Warabbun Gaffur” statement
ini menunjukan bahwa sangat sadar akan keberadaan bangsa dan Negara ini, menuju
kehidupan bangsa dan Negara yang berakhlak, tertib dan disiplin, serta
martabat, diridhoi Allah swt. Olehnya itu maka setiap terjadi ketimpangan
kehidupan sosial kebangsaan, muhamadiyah selalu prihatin bahkan tidak
segan-segan ikut adil dalam mencari penyelesaian masalah.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Muhammadiyah,
sebagai gerakan keagamaan yang senantiasa merujuk pada ajaran Islam Yang
menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagi sumber rujukan. Di satu sisi sejarah
selalu melahirkan berbagai persoalan, dan pada sisi yang lain Islam menyediakan
referensi atas berbagai persoalan tersebut, dengan dua rujukan di atas maka
munculah perinsip-perinsip Muhammadiyah dalam mengamalkan agama Islam itu
sendiri. Dan dalam hal ini kami sebagai penyusun sekaligus pembahas makalah ini
dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan, antara lain:
1.
islam adalah agama yang di butuhkaan
manusia sepanjang masa untuk pemenuhan
kebutuhan hidup yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat nanti. Hal itu sangat
sejalan dengan apa yang di katakan bahwa Agama Islam adalah ajaran yang
Rahmatan Lil’alamin.
2.
Wujud organisasi Muhammadiyah
adalah Fi sabillah,yang bernilai ibadah dan ini harus
di inspirasikan terus oleh semua warga persyarikatan . artinya berjuang untuk
tegaknya kalimah Allah yang harus di
tempuh dengan berbagai macam usaha Muhammadiyah
3.
muhammadiyah
bekerja untuk terlaksananya ajaran islam yang meliputi bidang-bidang
akidah,akhlak,ibadah dan muamalah duniyawi. aqidah islam menurut muhammadiyah bersumber kepada
al-qur’an dan sunnah rasul.
4.
Ajaran
agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di
dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh
karena itu, semua orang Islam harus memahaminya. Dengan benar-benar menjalankan
keislamannya yang bersumber pada Al-Qur’an dan as-sunnah. Dan Untuk memahami
al-Quran menurut Muhammadiyah diperlukan seperangkat instrumen yang menandai
kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata.
Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam,
yaitu ijtihad.
5.
Hasil
pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan
menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.
- Saran
Kami menyadari Dalam menyusun
makalah ini, masih banyak
kekurangan-kekurangan di dalamnya. namun sungguh merupakan
suatu kebanggaan dari kami apabila makalah
ini dapat terpakai
sesuai fungsinya, dan pembancanya
dapat mengerti dengan jelas
apa yang di bahas
didalamnya. tidak lupa juga
kami sangat mengharapkan kritikan
dan saran yang
membangun demi memperbaiki
kekurangan-kekurangan di dalam
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gurung, yusuf. Al-Islam kemuhammadiyaan 1. Kupang: 2014.
com/qiyas/ http://elmisbah.wordpress
[1]
Sinkretik: adalah proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran
agama atau kepercayaan.
[2] Ijtihad: keputusan para ulama untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
[3] Taqlid: Taqlid ialah mengikuti pendapat seseorang
tanpa mengetahui kebenaran pendapat tersebut.
[4] Ittiba’ : adalah mengikuti atau menerima
semua yang di perintahkan atau di larang atau di benarkan oleh rasulallah.
[5] Interpretasi
atau penafsiran
[6]Instrument:
alat yg dipakai untuk me-ngerjakan sesuatu
[7]Eksplorasi:
penjelajahan lapangan dng tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak
[8] Relatif:
tidak mutlak
[9] Sinergis: berkenaan dng sinergi
[11] Proporsional: sebanding; seimbang; berimbang:
[12] Qaulî:
Rukun qauli (ﻗﻮﻟﻲ - iaitu berasal
daripada perkataan ﻗﻮﻝ - qaul
bermaksud kata-kata) adalah rukun yang berasaskan kepada sebutan dan bacaan.
[13] Manhajî:
adalah berfikir tuntas dan komprehensif dari awal sampai akhir; dari zhahir
sampai bathin
[14] Simultan:
terjadi atau berlaku pd waktu yg bersamaan; serentak
[16] Kontekstualisasi:
Kontekstualisasi adalah proses
berkesinambungan yang melaluinya kebenaran dan keadilan Allah diterapkan dan
muncul dalam situasi-situasi histories yang kongkrit. Kontekstualisasi lebih
Holistik artinya mencakup semua aspek konteks manusia dan hubungan antara
budaya dan kelompok-kelompok manusia; lebih Global: artinya dapat diterapkan
kepada semua kebudayaan; lebih dinamis atinya menerima realitas perubahan
social-budaya.
[1]
Sinkretik: adalah proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran
agama atau kepercayaan.
[2] Ijtihad: keputusan para ulama untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
[3] Taqlid: Taqlid ialah mengikuti pendapat seseorang
tanpa mengetahui kebenaran pendapat tersebut.
[4] Ittiba’ : adalah mengikuti atau menerima
semua yang di perintahkan atau di larang atau di benarkan oleh rasulallah.
[5] Interpretasi
atau penafsiran
[6]Instrument:
alat yg dipakai untuk me-ngerjakan sesuatu
[7]Eksplorasi:
penjelajahan lapangan dng tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak
[8] Relatif:
tidak mutlak
[9] Sinergis: berkenaan dng sinergi
[11] Proporsional: sebanding; seimbang; berimbang:
[12] Qaulî:
Rukun qauli (ﻗﻮﻟﻲ - iaitu berasal
daripada perkataan ﻗﻮﻝ - qaul
bermaksud kata-kata) adalah rukun yang berasaskan kepada sebutan dan bacaan.
[13] Manhajî:
adalah berfikir tuntas dan komprehensif dari awal sampai akhir; dari zhahir
sampai bathin
[14] Simultan:
terjadi atau berlaku pd waktu yg bersamaan; serentak
[16] Kontekstualisasi:
Kontekstualisasi adalah proses
berkesinambungan yang melaluinya kebenaran dan keadilan Allah diterapkan dan
muncul dalam situasi-situasi histories yang kongkrit. Kontekstualisasi lebih
Holistik artinya mencakup semua aspek konteks manusia dan hubungan antara
budaya dan kelompok-kelompok manusia; lebih Global: artinya dapat diterapkan
kepada semua kebudayaan; lebih dinamis atinya menerima realitas perubahan
social-budaya.