Home » » POSISI AL-QUR'AN DALAM STUDI KEISLAMAN DAN ILMU PENGETAHUAN

POSISI AL-QUR'AN DALAM STUDI KEISLAMAN DAN ILMU PENGETAHUAN



A.    Posisi Al-Qur’an dalam studi keislaman
Alqur'an adalah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berangsur angsur dalam bahasa arab yang menerangkan hukum hukum, aqidah, nasehat dan lain lain dan menjadi mukjizat buat Nabi Muhammad SAW dan menjadi pegangan Ummat Nabi Muhammad SAW. Jadi isi Al-Qur’an meliputi segala macam persoalan, dan bisa dibahas dari berbagai aspek. Al-Qur’an juga dapat dilihat dari segi kandungannya yang bukan hanya mengemukakan persoalan-persoalan yang menyangkut peribadatan saja, tetapi meliputi juga persoalan teologi, persoalan kemasyarakatan, persoalan eksistensi manusia bahkan persoalan-persoalan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti ilmu dan teknologi. Karena posisi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, maka segala sesuatu pembahasan mengenai keIslaman, baik yang menyangkut ajaran maupun yang menyangkut unsur-unsur pendukung terlaksananya ajaran tersebut, seluruhnya mengacu kepada Al-Qur’an. Bagi orang-orang yang percaya akan kemu'jizatan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an itu betul-betul akan menjadi petunjuk baginya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.
            Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam  perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan  pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang masa. Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan Al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap Al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah metode Tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran). Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul. Tafsir bi al-ra’yi sering dipergunakan oleh para mufassir untuk melegitimasi mazhabnya sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan mazhabnya.
Menurut epistemologi maupun sosiologi pengetahuan, persepsi yang terdapat pada seseorang merupakan cermin dari realitas itu, sebenarnya merupakan pengalaman yang terstruktur yang terbentuk melalui proses yang dipengaruhi oleh suatu kerangka pemikiran tertentu yang bisa disebut “teori”. Orang akan melihat dan memberikan arti terhadap pengalamannya berdasarkan “teori” yang terdapat di kepalanya. Ayat-ayat Al-Qur’an dapat juga menjadi “data”, walaupun berupa teks. Maka dalam menginterpretasikan “data” tersebut orang juga akan mempergunakan teori sebagai kerangka referensinya, apabila ia seorang sarjana yang sadar. Mereka yang bukan sarjana akan mempergunakan pengalaman terstrukturnya dalam membaca sesuatu. Demikian pula halnya ketika membaca Al-Qur’an.
Kesulitan yang dialami seseorang dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tertentu adalah karena kesulitan menghubungkan apa yang dibacanya dengan kerangka referensi yang terbukti dari pengalamannya. Itulah sebabnya, maka para mufasir menganjurkan untuk mengetahui asbabun nuzul dalam membaca suatu ayat tertentu, sebab keterangan yang akan diperoleh bisa membantu atau mengantikan pengalamannya sendiri sebagai kerangka referensi yang diperlukan untuk memahami suatu ayat. Namun pengalaman hidup sendiri tetap saja diperlukan, karena pengalaman itu, terutama yang luas dan memiliki dimensi komparatif, akan sangat membantu memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah sebabnya, pemahaman seseorang tentang ayat-ayat Al-Qur’an cenderung untuk semakin mendalam sejalan dengan bertambahnya pengalaman hidup. Tapi pengalaman ini bisa juga digantikan teori, yang sebenarnya merupakan “konsentrat” dan pengalaman yang banyak atau intensif yang dilakukan dengan penelitian. Kalau kita kaji lebih mendalam  isi Al-Qur’an yang menginformasikan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya, sungguh betapa lengkapnya Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam. Allah berfirman: “Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya”. (Al-Baqarah: 121).
Memang benar adanya, bahwa Alquran, baik lafal maupun makna adalah firman Allah, yang merupakan sistem dari langit untuk seluruh makhluk, khususnya manusia. Selain itu ia merupakan rujukan utama perkara-perkara agama dan sandaran hukum. Hukum-hukum yang ada di dalamnya tidaklah diturunkan sekaligus, akan tetapi diturunkan secara berangsur selama masa kerasulan; ada yang turun untuk menguatkan dan memperkokoh pendirian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ada yang turun mendidik umat yang baru saja tumbuh dan ada pula yang diturunkan oleh karena peristiwa keseharian yang dialami oleh umat Islam di tempat dan waktu yang berbeda-beda. Setiap kali ada peristiwa, turunlah ayat Alquran yang sesuai dan menjelaskan hukum Allah atas peristiwa itu. Di antaranya adalah kasus-kasus dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat Islam, pada masa pensyariatan hukum, di mana umat Islam ingin mengetahui hukumnya, maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum Allah, seperti larangan minuman keras.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan mendapati orang-orang meminum minuman keras, dan makan dari hasil berjudi. Lalu mereka bertanya kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah itu, maka Allah berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada  keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.(Al-Baqarah:219)
Ada satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif terhadap setiap perkembangan situasi yang terjadi dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Misalnya dengan pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini dan pada masa yang akan datang sudah ada semuanya dalam al-Qur’an. Seperti yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam Jawahir al-Qur’an.
Respon ini tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan kontemporer yang kontradiktif dengan al-Qur’an muncul respon defensif yang seringkali menempatkan informasi-informasi dalam teks al-Qur’an pada dataran mistik. Ada semacam pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan keshahihan al-Qur’an tersebut. Padahal upaya ini justru akan memposisikan al-Qur’an secara sempit. Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau paling tidak sampai pada waktu ulama-ulama klasik saja.
Karenanya diperlukan upaya yang lebih produktif dalam rangka mempertahankan pandangan teologis di atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir kontemporer dengan menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ilmu ini adalah dasar dari apa yang disebut sebagai hukum. Setiap orang akan punya pandangan dan alasan sendiri dalam memandang dan menyikapi sesuatu. Untuk itu harus ada pedoman sebagai rujukan ketika terjadi perbedaan pendapat sehingga tidak menggiring orang ke lembah perpecahan dan setiap orang mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pen¬dapat sendiri (toleran, tasamuh).
Untuk menetapkan suatu hukum diperlukan seperangkat ilmu yang memungkinkan seseorang (mujtahid) menggali isi al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum berbagai masalah. Dengan dcmikian fikih pun merupakan suatu disiplin ilmu yang memerlukan kajian tersendiri.
Sebagian orang berpendapat, bahwa umat Islam menga¬lami kemunduran, karena terlalu terfokus pemikirannya kepada fikih. Islam mengalami kemunduran bukan karena terlalu berorientasi kepada fikih, tetapi karena sipenentu hukum itu tidak maju bergerak, se¬perti tetap berorientasi kepada fikih lama yang mungkin tidak sesuai lagi dengan keperluan zaman. Kalau ada yang beranggapan, bahwa fikih lama sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, maka had ini yang perlu diluruskan. Hendaknya dapat dipahami, bahwa hukum fikih itu sesuai dengan tuntutan zaman (ingat, bukan menyesuai¬kan dengan perkembangan zaman).

B. Alquran dan Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Al-Qur’an juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya:“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya. Disamping itu, Al-Qur’an menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.
Menurut Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Qur’an.
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?
Kuntowijoyo mengatakan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Al-Qur’-an, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Al-Qur’an jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Al-Qur’an adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.
Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Al-Qur’an dan Hadist yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam, sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari struktur ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian munculah dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu Ilmu pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka. Ilmu pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. Dengan rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan secara fungsional (fungsional Corelation)



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Quran adalah sumber dari segala sumber ajaran islam karena Al-Quran merupakan pokok ajaran islama maka segala study mengenai keislaman  tidak boleh bertentangan dengan sumber pokok ini. Kitab suci menempati  posisi sentral bukan saja dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga insipirator dan pemandu gerakan-gerakan umat islam sepanjang Zaman. Memang ada alira-aliran dalam islam yang muncul karena faktor perbedaan pandangan tentang tata cara memahami ayat-ayat AL-QURAN, yang terpenting adalah memahami bersama bahwa ALLH dalam Al-Quran menghendaki sesama muslim untuk saling berkasih sayang. Sebagian besar umat islam berpandangan bahwa unsur nalar amat berperan dalam memahami Al-Quran.
            Al-Quran sebagai sumber ajaran islam tidak dalam direalisasikan dalam kehidupan masyarakat, kalau isi serta kandungannya itu belum dapat dipahami dengan baik, karena isi serta kandungan Al-Quran itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi isi Al-Quran meliputi segala macam persoalan, dan bisa dibahas dari berbagai aspek. Al-Quran juga dapat dilihat dari segi kandungannya yang bukan hanya persoalan –persoalan yang menyangkut pribadi saja, tetapi meliputi juga persoalan teologi, persoalan kemasyrakatan, persoalan-persoalan yang menyangkut pemenuhan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti ilmu dan teknologi.
            Karena posisi Al-Quran sebagai sumber ajaran islam yang pertama, maka segala sesuatu pembahasan mengenai keislaman, baik yang menyangkut ajaran maupun yang menyangkut unsur-unsur pendukung terlaksanaannya ajaran tersebut, seluruhnya mengacu kepada Al-Quran. Bagi orang-orang yang percaya akan kemu’jizatan Al-Quran, maka Al-Quran itu betul-betul akan menjadi petunjuk baginya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.







DAFTAR PUSTAKA


Usul fiqih
Abul Kalam Azad. 1991. Konsep Dasar Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ali Abdul Hamid Hamudah, M.A.. 1992. Islam Digerogoti Aliran-aliran Destruktif.
Solo: CV Pustaka Mantiq.

Ali Hasan, M. 2000. Studi Islam, Al-Qur’an dan As Sunnah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Gibb, H. A. R.. 1992. Aliran-aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: Rajawali.

Hanafi, A., MA. 1975. Ushul Fikih. Jakarta: Wijaya.

Hashbi Ash Shiddiqi, M. 1995. Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Ibrahim Madkour, Dr. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara

Inu Kencana Syafiie. 1992. Al-Qur’an Sumber Segala Disiplin Ilmu. Jakarta: Gema
Insani Press.

Mukhtar Yahya, Prof. dan Fathurrahman, Prof. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Islam. Bandung: Al-Ma'arif.

Mukti Ali, dkk. 1997. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Quraisy Syihab, Prof. Dr. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syarafuddin al-Musawi, A.. 1992. Dialog Sunnah Syi’ah. Bandung: Mizan

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.